KAIDAH BAHASA ARAB (MUDHAF -MUDHAF ILAIH)


Sering sekali bagi pemula yang belajar nahwu atau bahasa arab bingung antara susunan idhofah dan mudhof-mudhof ilaih.  Mari kita bahas perbedaan antara keduanya

1 Mudhof-mudhof ilaih, tidak masalah dengan perbedaan jenis antara mudhof dan mudhof ilaihnya; yaitu dalam hal mudzakkar dan mu-annats. Misalnya :

سَيَّارَةُ حَامِدٍ (mobilnya Hamid)

سَيَّارَةُ : Kata benda muannats karena ber ta’ mabuthoh

حَامِدٍ : Nama laki-laki termasuk isim mudzakkar 

Adapun Na-at – man’ut harus sesuai dalam hal mudzakkar dan muannatsnya. Na’at harus mengikuti jenis dari man’utnya. Misalnya,

كِتَابٌ جَدِيْدٌ (kitab yang baru)

atau

سَاعَةٌ جَدِيْدَةٌ (jam tangan yang baru)

Perhatikan kedua contoh susunan na’at-man’ut diatas, jika man’utnya mudzakkar maka na’atnya harus mudzakkar. Sebaliknya, jika man’utnya muannats, maka na’atnya harus dalam keadaan muannats juga.

2. Dalam susunan idhofah, mudhof harus nakiroh dan mudhof ilaihnya harus ma’rifat. misalnya :

سَيَّارَةُ حَامِدٍ (Mobilnya Hamid)

سَيَّارَةُ adalah isim nakiroh yang kemudian tanwinnya dihilangkan karena dia di-idhofahkan. حَامِدٍ adalah isim ma’rifat berupa nama orang

بَيْتُ المُدِيْرِ (Rumahnya kepala sekolah)

بَيْتُ adalah isim nakiroh yang tanwinnya dihilangkan; المُدِيْرِ  adalah isim ma’rifat dengan AL

Adapun Na’at-man’ut, maka ia harus bersesuaian dalam hal nakiroh dan ma’rifatnya.

Misalnya :

حَامِدٌ مُدَرِّسٌ جَدِيْدٌ(Haamid adalah murid baru). Na’atnya yaitu جَدِيْدٌ harus nakiroh karena man’utnya مُدَرِّسٌ berupa isim nakiroh. Begitu juga sebaliknya.

أَيْنَ المُدَرِّسُ الجَدِيْدُ ؟ (dimana guru yang baru?) Na’atnya yaitu الجَدِيْدُ harus ma’rifat karena man’utnya yaitu المُدَرِّسُ berupa isim ma’rifat.

3. Kedudukan mudhof ilaih HARUS majrur sedangkan mudhof tergantung kedudukannya dalam kalimat. Misal

سَيَّارَةُ الطَّبِيْبِ (mobilnya dokter)

سَيَّارَةُ karena tidak diawali huruf jar, maka dia kembali seperti hukum asal isim mu’rob di awal kalimat yaitu dalam keadaan marfu‘ dengan tanda dhommah. Adapun الطَّبِيْبِ 

maka ia HARUS MAJRUR karena mudhof ilaih WAJIB MAJRUR; disini tanda majrurnya adalah kasroh. Contoh lainnya yaitu:

فِيْ كِتَابِ اللهِ (didalam kitabnya Allah) 

كِتَابِ didalam penggalan kalimat diatas dalam keadaan majrur karena di awali oleh huruf jar فِيْ. Adapun lafadz اللهِ yang mulia maka dia dalam keadaan majrur sebagai mudhof ilaih.

Sedangkan pada susunan na’at man’ut, maka kedudukan na’at mengikuti kedudukan man’utnya. Misal : 

الطَّالِبَةُ الجَدِيْدَةُ من الصينِ (Seorang pelajar baru itu dari China)

الجَدِيْدَةُ adalah na’at untuk man’utnya yaitu الطَّالِبَةُ dan kedudukan na’atnya mengikuti man’utnya; dalam hal ini marfu dengan tanda rafa‘nya dhammah. 

ذَهَبَ حَامِدٌ إلَى المَدِيْنَةِ المُنَوَّرَةِ (Hamid pergi ke madinah yang bercahaya)

المُنَوَّرَةِ adalah na’at dalam keadaan majrur karena mengikuti man’utnya المَدِيْنَةِ majrur oleh huruf jar yaitu إلَى. 

4.  Pada susunan idhofah, jumlah/bilangan mudhof ilaih tidak mesti sama dengan mudhofnya. Misalnya :

ذُوْ القَرْنَيْنِ (pemilik dua tanduk)

ذُوْ adalah mudhof dan hanya berarti satu/mufrod tapi mudhof ilaihnya yaitu  القَرْنَيْنِ adalah isim mutsanna yaitu isim yang berarti jumlahnya ada dua. Contoh lain yaitu pada kata ذُوْ النُرَيْنِ (pemilik dua cahaya). Ada yang tahu siapa pemilik gelar ini? Adalah Sahabat Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu  karena beliau memiliki dua orang istri yang merupakan anak dari Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam.

Sedangkan pada susunan na’at-man’ut, maka jumlah bilangan HARUS sama. kecuali jika man’utnya berupa jamak taksir maka na’atnya boleh mufrod muannats. 

سَاعَةٌ جَدِيْدَةٌ (jam tangan baru)

pada contoh diatas, na’atnya mufrod/tunggal karena man’utnya mufrod. contoh lainnya ada di hadits berikut :

كَلِمَتَانِ خَفِيفَتَانِ عَلَى اللِّسَانِ ، ثَقِيلَتَانِ فِى الْمِيزَانِ ، حَبِيبَتَانِ إِلَى الرَّحْمَنِ سُبْحَانَ اللَّهِ وَبِحَمْدِهِ ، سُبْحَانَ اللَّهِ الْعَظِيمِ “Dua kalimat yang ringan di lisan, namun berat ditimbangan, dan disukai Ar Rahman yaitu “Subhanallah wa bi hamdih, subhanallahil ‘azhim” (Maha Suci Allah dan segala puji bagi-Nya. Maha Suci Allah Yang Maha Agung).

كَلِمَتَانِ adalah man’ut yang berupa isim mutsanna (yang bermakna jumlahnya ada 2) maka na’atnya yaitu خَفِيفَتَانِ juga harus dalam bentuk mutsanna.

Kesimpulannya : 

1. Mudhof ilaih tidak harus mengikuti jenis mudhofnya; yaitu dalam hal mudzakkar dan mu-annats. Sedangkan Na’at harus mengikuti man’utnya dalam hal mudzakkar dan muannatsnya.
2. Mudhof HARUS nakiroh dan mudhof ilaihnya HARUS ma’rifat. Sedangkan na’at harus mengikuti man’ut dalam hal nakiroh dan ma’rifatnya.
3. Harakat mudhof tergantung kedudukannya dalam kalimat. Adapun mudhof ilaih HARUS majrur. Sedangkan na’at HARUS mengikuti kedudukan dan harakat man’utnya.
4. Pada susunan idhofah, jumlah/bilangan mudhof ilaih tidak mesti sama dengan mudhofnya. Sedangkan na’at HARUS bersesuaian jumlahnya dengan-man’utnya (kecuali jika man’utnya berupa jamak taksir maka na’atnya boleh mufrod muannats)

Komentar